Rabu, 08 April 2020

Papi, dan kenanganmu 💕 (kehilanganmu)


Selasa malam.

Hujan deras membasahi kota, bahkan diriku sepulang kantor dengan membawa janin 9 bulan pun basah karena jarak dari turun kendaraan dan pagar rumah tanpa payung cukup membuat air hujan mudah menimpaku.

Aku masuk rumah lantas membersihkan diri. Setelahnya aku, suami, anak pertamaku yang berusia hampir 2 tahun duduk bersama di ruang tengah. Kami masih tinggal dirumah papa dan mama, juga ada adik bungsuku.

Kala itu, mama sedang menemani papa didalam kamar, adikku sepertinya sedang mengutak-atik handphonenya. Aku beranjak ke kamar papa dan mama.

"Sudah makan, Pap?" tanyaku pada papaku yang terbaring di tempat tidur. Beliau sudah hampir setahun ini sakit, semacam stroke tapi entah apa. Beberapa minggu ini cuma bisa baring. Jalan kadang sambil duduk dilantai karena tidak mau dibantu.

"Belum..," jawabnya pelan. Kata mama, papaku lagi tidak mau makan, kenyang katanya.

Aku keluar kamar dan menuju ke meja makan, ada roti diatas meja. Aku ambil dan masuk.kembali ke kamar papaku.

"Makan ini, Pa... Sedikit saja, bagi dua sama aku ya..," ujarku sambil mengarahkan setengah roti ke papaku. Sebenarnya aku tidak ingin roti, karena aku sudah sempat makan malam di kantor sebelum pulang. Papaku cuma makan sedikit, sedikit sekali.

Aku cuma bisa menghela nafas, dan sedikit kesal. Entah mengapa, mungkin karena sedang hamil tua, kecapekan dan sedih melihat kondisi papaku. Aku memang masih bekerja agar waktuku dengan bayi setelah melahirkan bisa lebih lama, dan ini sudah kesepakatan dengan atasanku, dokter dan suamiku. Dan sebenarnya minggu depannya aku sudah mengajukan cuti, dihitung dari seminggu dari perkiraan melahirkan.

"Papamu sepertinya demam, tadi sempat menggigil tapi sekarang sudah mendingan," mama sempat berkata padaku. Aku sedikit lega setelah kuraba dahi papa, sudah tidak panas.

"Sudah enakkan, Pa?"

"Iya, sudah..."

"Istirahat ya, Pa..," kataku sambil kemudian keluar dari kamar. Sedih melihatnya, walaupun tadi sempat kesal karena papa susah disuruh makan banyak.

Malam itu dingin sekali, mungkin karena hujan deras habis mengguyur kota dan masih menyisakan rintik-rintiknya hingga subuh menjelang. Aku terlelap dalam kelelahan, sempat menangis dan suamiku berkata agar aku sabar dan tetap mendoakan papa agar lekas pulih.

---------

Rabu, menjelang akhir bulan Maret.

Seperti biasa aku bersiap untuk bekerja, anakku telah rapi sehingga aku bisa segera berangkat. Suamiku rupanya ijin tidak masuk kantor sebab tidak enak badan, mungkin karena kecapekan beberapa hari ini dengan padatnya pekerjaan dan ditambah semalam pun sempat berhujanan karena menjemputku. Dia hanya mengenakan jaket sebab jas hujan aku pakai. Syukurlah jarak kantorku dan rumah tidak jauh.

Sebelum berangkat aku menuju kamar papa, maksud hati karena biasanya aku selalu pamit, menjabat tangannya dan mencium punggung tangannya. Lalu aku buka pintu kamar, aku lihat papaku yang masih terbaring sedang tidur nyenyak. Mama kebetulan sedang dikamar membereskan meja riasnya.

"Aku mau berangkat kerja, Ma..."

"Iya, hati-hati. Jaga diri dan jangan kecapekan. Kamu hamil besar,"

"Iya, Ma. Mas Wibby hari ini tidak masuk kerja, Ma. Kurang enak badan katanya. Dira itu sedang ditemani main sama mbak Nah, tadi sudah kusuapi makan. Bagaimana papa, Ma?"

"Semalam sempat menggigil lagi, tapi sudah mendingan. Sekarang lagi nyenyak, biarkan saja jangan dibangunkan," pelan suara mama berkata. Namun tak berapa lama begitu aku pamit mama masih didepan pintu kamar, aku lihat papaku seperti bangun dari tidur lantas tersenyum dan kemudian kembali tertidur. Mungkin masih tidak enak badannya pikirku. Aku segera berangkat, tanpa menjabat tangan. Tanpa mencium tangannya, supaya tidak menganggu istirahatnya.

Bunyi sms masuk, dari adikku yang tinggal berbeda rumah dengan kami. Dia bilang hendak kerumah membawakan soto kesukaan papa, karena dia telepon mama pagi tadi rupanya dan mama berkata bahwa papaku tidak enak badan.

"Iya, coba belikan soto kesukaannya, siapa tahu papa mau makan banyak," ujarkan membalas sms adikku dengan menelponnya. Setelahnya, aku kembali mengurus kerjaanku. Aku sempat menelpon mama dan suamiku yang sedang dirumah dan bertanya tentang keadaan papa.

Beberapa menit berlalu.

Bunyi handphone kembali berdering. Kali ini dari suamiku. "Ada apa, mas? Masih tidak enak badan?"
Dari ujung sana suami berkata bahwa papaku kayaknya pingsan tidak sadarkan diri.

Deg. Rasanya waktu seperti berhenti tiba-tiba. Perasaanku berubah tidak enak. Sangat tidak enak. Pikiranku melayang kemana-mana. Aku cuma bisa mengucap dalam hati, papaku cuma pingsan, jangan khawatir berlebihan. Suamiku pelan-pelan bicara denganku, menunggu responku dengan amat hati-hati.

"Terus bagaimana, Mas? Sudah panggil dokter? Atau kita bawa ke dokter, atau rumah sakit sekarang!"

"Mungkin lebih baik kamu pulang dulu, sayang..," pinta suamiku pelan.

"Oke, Mas, jemput aku sekarang. Kamu bisa kan," tanyaku khawatir karena suamiku juga sedang tidak enak badan.

"Bisa sayang, sudah mendingan sekarang. Siap-siap, ya..."

Tidak lama setelah aku minta ijin ke manager untuk pulang kerumah, suamiku datang. Dan dalam perjalanan singkat pulang kerumah, makin dekat rumah, makin hati dan pikiranku tidak enak, tidak tenang, bahkan kacau.

Sampai dirumah, berlari masuk tanpa kuperdulikan perut besar yang kubawa ini. Aku ke kamar. Aku lihat mama duduk disisi tenpat tidur, ekspresinya sedih namun tetap seperti orang berusaha tenang. Aku hampiri papaku di tempat tidur.

"Pa...," panggilku serak.

"Pa, bangun pa," kuulangi memanggil.

Aku mulai makin tegang dan leher seakan tercekat. Mama, suamiku, adikku yang tinggal bersama, mbak Nah, dan kebetulan ternyata ada tante Nina yang sudah seperti saudara ada dirumah, mereka semua diam. Bahkan anakku seakan mengerti, dia pun diam, hanya mondar mandir.

Makin keras aku memanggil, bahkan seperti hampir teriak. Tapi papaku tetap diam. Wajahnya biasa saja seperti sedang tidur. Dan semakin keras usahaku membangunkannya. Tangan, kaki dan badannya hangat. Masya Allah, aku menangis sejadi-jadinya berusaha membangunkan papaku yang tetap diam tanpa respon. Aku pegang tangannya, aku cium telapak tangannya. Aku bilang pada semua bahwa papaku sedang tidur. Dia sedang tidak enak badan.

Suamiku menghampiriku lebih dekat. Dan berbisik bahwa papa sudah tidak ada. Mas Wibby berkata bahwa papa baru saja meninggalkan kita semua. Makin kencang tangisku dan tetap mengatakan bahwa papa itu tidur. Aku teriak untuk mereka panggil dokter atau bawa papa ke rumah sakit. Badan papa masih hangat. Kaki dan tangannya hangat.

Petugas dari rumah sakit tiba tidak lama datang. Ternyata adik laki-lakiku yang memanggilnya. Aku dibawa keluar kamar oleh suamiku saat petugas memeriksa. Aku masih menangis dan berkata pada suamiku bahwa papa itu cuma pingsan dan tidur karena tidak enak badan.

"Bapak sudah tidak ada, Bu," kudengar petugas itu pelan bicara kepada mama.

Aku menangis kencang dalam pelukan suamiku. Aku seperti tidak terima kenyataan. Aku marah kenapa keadaan ini harus aku alami. Aku juga menyesal kenapa tidak banyak yang bisa aku perbuat untuk papa. Siang itu, hatiku seakan hancur, pikiranku kacau, dan aku menangis.

Aku masih menangis didepan papaku. Beberapa tetangga datang bahkan orang kantor yang entah tahu berita darimana aku pun tidak berpikir lagi. Aku menangis dengan  rasa sesal dan sedih.

Bayangan papa yang dibalik keras dan tegasnya, namun begitu sayang dan perhatian padaku bergantian dipikiranku dengan rasa penyesalanku. Kenapa papa meninggalkan aku. Aku belum banyak membantunya. Aku belum banyak memberi kesenangan dan juga masih belum banyak usahaku menyembuhkannya.

Aku masih dengan rasa sesalku. Kenapa aku tadi tidak berpamitan dan mencium tangannya. Kenapa aku tidak membawanya ke rumah sakit semalam. Kenapa aku seakan yakin papa itu cuma tidak enak badan biasa. Begitu banyak kalimat kenapa aku. Bodoh. Anak tidak berguna. Kata-kata itu pun sempat aku katakan pada diriku.

Sekarang aku cuma bisa menangis, berdoa untuk papa, tapi aku tidak bisa bersama, tidak bisa melihat papa setiap hari. Aku ingat saat dia mengantarku keluar kota untuk tanda tangan kontrak kerja, namun papa menyuruh mama untuk aku membatalkannya karena dia tidak mau jauh dan tidak mau aku kecapekan karena kondisi pekerjaan luar kota yang bolak balik ke lokasi dan tempat tinggal. Aku ingat saat papa membanting sepatu basketku karena dia peduli akan kesehatanku sementara aku bandel tetap bermain. Aku ingat saat sholat tarawih berjamaah. Terlalu banyak kenangan.

Aku masih selalu menangis setiap mengingat papa. Setiap ujung doaku pasti kusematkan namanya. Begitu aku sangat kehilangan papa. Aku cuma berjanji akan menjaga mama, supaya papa tidak khawatir disana. Anakku lahir sebulan setelah kepergian papaku. Telat 2 minggu dari perkiraan. Saat itu aku mengalami stress dan mempengaruhi kandunganku. Bersyukur aku dan anakku diberi kesehatan dan lekas pulih. Dan wajah papa seperti hadir diwajah anak yang baru kulahirkan.

---------

10 tahun dan 10 ramadhan sudah aku melewatinya tanpa papa. Semoga papa memaafkan ketidaksempurnaanku sebagai anaknya. Dan semoga papa selalu tahu bahwa aku sangat menyayanginya, dan aku selalu mengingatnya. Al Fatihah.


☘️☘️☘️☘️☘️
Repost my story from KBM

Bundles of Stories - Simplicity Writing

Waktu itu Berharga

    Aku menutup buku catatan harianku setelah selesai menuliskan rencana kegiatan untuk esok hari. Ini satu diantara kegiatan di akhir har...